Kultur Jaringan Tumbuhan

Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah bagian dari bioteknologi modern yang telah berkembang pesat, dengan perbanyakan secara vegetative. Dengan perbanyakan secara vegetative ini akan menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak dengan waktu yang relative singat. Kultur jaringan merupakan suatu teknik perbanyakan tanaman dengan mengambil sebagian kecil jaringan yang masih meristematis dalam keadaan steril untuk ditanam secara in vitro dengan teknik aseptis. Prinsip dasar dari kultur jaringan tumbuhan ini yaitu dengan memanfaatkan sifat totipotensi, dimana sel-sel dari jaringan tumbuhan tersebut memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu baru yang sempurna bila di tumbuhkan pada media yang sesuai.

1487929726plant-tissue-culture-5b7fd38dbde57574b54dbb42

Kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuh kembang kanbagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptiksecara in vitro (Yusnita, 2003). George et al. (1984), menyatakan bahwa kultur jaringan tumbuhan adalah ilmu pengetahuan tentang penumbuhan sel tanaman, jaringan atau organ yang diambil dari tumbuhan induk ditumbuhkan pada media yang artificial. Sementara Suryowinoto (1996), medefinisikan kultur jaringan dari asal katanya, dimana kultur berarti budidaya, dan jaringan berarti sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Jadi, lkultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya.

Kultur jaringan didasarkan pada prinsip totipotensi sel. Menurut prinsip tersebut, sebuah sel atau jaringan tumbuhan yang diambil dari bagian manapun, akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan sempurna jika ditumbuhkan dalam media yang cocok (Rahardja, 1994; Wetherell, 1982). Perbanyakan melalui kulturin vitro dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu pembentukan tunas adventif, poliferasi tunas lateral dan embryogenesis somatik. Poliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas, sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu singkat (Kosmiatin et al., 2005).

Pada mulanya tujuan dan manfaat utama teknik kultur jaringan tanaman adalah untuk perbanyakan tanaman. Akan tetapi pada perkembangannya, teknik kultur jaringan juga dimanfaatkan untuk tujuan lain, seperti: polinasi in vitro, penyelamatan embrio (transplantasi embrio), produksi metabolit sekunder, konservasi plasma nutfah, fusi protoplas, keragaman somaklonal, produksi tanaman haploid, dan transformasi tanaman (Bhojwani, 1983). Kegunaan lain dari kultur jaringan yaitu untuk menghasilkan hibrida dengan penyerbukan ovula artifisial in vitro. Para ahli genetika tertarik fusi protoplas dari genetic spesies yang berbeda dalam pengembangan kultivar baru. Pekerjaan protoplas yang berkaitan dengan studi tentang warisan kromosom ekstra, manipulasi simbiosis fiksasi nitrogen, dll juga menjanjikan. Dengan kultur jaringan juga dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder dari tanamanyang mungkin berpotensi untuk dikomersialkan. Selain itu kultur jaringan juga dapat digunakan untuk pelestarian plasma nutfah secara in vitro (George, 1984).

 

 Eksplan

Eksplan merupakan bagian dari tumbuhan yang digunakan sebagai bahan inisiasi suatu kultur. Menurut Gunawan (1987), syarat-syarat bagian tumbuhan yang dijadikan sebagai eksplan yaitu: Jaringan tersebut sedang aktif pertumbuhanya, diharapkan masih terdapat zat tumbuh yang masih aktif sehingga membantu perkembangan jaringan selanjutnya, Eksplan yang diambil beerasal dari bagian daun, akar, mata tunas, kuncup, ujung batang, dan umbi yang dijaga kelestatranya. Eksplan yang diambil dari bagian yang masih muda(bila ditusuk pisau akan trasa lunak sekali.

Menurut Allan (1981), macam-macam eksplan yang dapat digunakan untuk kultul jaringan adalah:

  • Kalus

 

download (6)

Ketika jaringan tanaman terluka, jaringan yang tumbuh di atas luka disebut sebagai kallus. Pada tahun 1939 tiga peneliti, Nobecourt & Gautheret di Perancis, dan White di Amerika Serikat, melaporkan secara terpisah tentang kultur jaringan kalus tanaman dalam media sintetis (Gunawan, 1987). Ukuran kallus meningkat dengan pembelahan sel yang terus menerus dan di sub kultur secara berkala untuk menghasilkan kallus tambahan. Kultur kalus telah dipertahankan selama bertahun-tahun dan, dengan konsentrasi yang benar dan rasio zat pertumbuhan, telah memungkinkan untuk menginduksi diferensiasi tunas dan akar, sehingga menghasilkan tanaman baru. Sayangnya kultur kalus tidak stabil dan, selama pembelahan sel ada kecenderungan untuk meningkatnya nomor kromosom pada sel anak sehingga menghasilkan poliploidi.

  • Biji

img_0452

Biji anggrek, yang biasanya gagal berkecambah karena mengandung sedikit cadangan makanan, dikultur pada media nutrisi, padakondisi steril (aseptik) oleh. Teknik ini memiliki pengaruh penting pada produksi anggrek tetapi, karena heterozigositas, bibit yang bervariasi dan petani tidak dapat menjamin warna atau bentuk bunga yang dihasilkan oleh tanaman anak (Murashige, 1974).

  • Embrio

Embrio yang belum matang atau belum sempurna pembenihannya juga telah berkecambah dalam kondisi steril mirip dengan biji anggrek, setelah mengeluarkan embrio dari benih. Teknik ini telah memungkinkan bibit yang biasanya memerlukan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk berkecambah (misalnya kelapa sawit Elaeis guineensis Afrika), berkembang dengan cepat (Murashige, 1974).

  • Butir Pollen

Anter diambil dari kuncup bunga muda dari beberapa tanaman, misalnya tembakau, dan ditempatkan di  larutan kultur aseptik akan berkembang menjadi tanaman haploid (yaitu dengan hanya satu set kromosom). Perlakuan tanaman tersebut dengan larutan colchicine (Nitsch & Nitsch, 1969) menghasilkan produksi tanaman diploid homozigot (yaitu dengan pasangan kromosom identik).

  • Meristem Apex

Pada tahun 1946 Ball mampu menghasilkan tanaman lengkap Lupinus dan Tropaeolum (Nasturtiums) melalui culture tunas pucuk dan metode ini telah banyak digunakan sejak saat itu (Murashige, 1974). Teknik ini terdiri dalam hati-hati membedah titik tumbuh (meristem apikal) bersama-sama dengan satu atau dua  daun primordia di ujung pucuk. Semakin besar, perkembangandaun primordia yang telah menutupi dan melindungi titik tumbuh sering mencegah infeksi eksternal sehingga tidak mencapai titik tumbuh. Dengan demikian apeks pucuk dapat dipindahkan dengan hati-hati ke media nutrien yang telah disterilkan untuk melanjutkan pertumbuhan tanpa infeksi jamur atau bakteri. Meristem apikal ditambah dua primordia daun dengan panjang sekitar 0,1 mm, tapi banyak peneliti telah menggunakan pucuk lama sekitar 5 sampai 10 mm panjang.

Media Tumbuh

Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media kultur yang baik seharusnya menyediakan unsur hara baik makro (C, H, O, P, K, N, S, Ca, Fe, Mg) maupun mikro (Mn, Mo, Zn, Cu, B, Cl), sumber vitamin dan asam amino, sumber karbohidrat, zat pengatur tumbuh, senyawa organik sebagai tambahan seperti air kelapa, ekstrak buah dll, bahan pemadat seperti agar-agar dan gelrite dan juga menyediakan arang aktif untuk kasus tertentu untuk tanaman (Coleman, Evans, dan Kearns, 2003).

           Unsur hara makro dan mikro diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik. Pada umumnya biasa diberikan dalam komposisi tertentu seperti komposisi media MS, WPM, B5, White, dan lain-lain tergantung dari jenis tanaman yang akan dikulturkan. Vitamin yang banyak digunakan adalah vitamin B12 (thiamin), Nicotinic Acid, vitamin B6 (pyridoxine), dan vitamin E atau C yang digunakan sebagai antioksidan. Asam amino dipakai sebagai sumber N organik, yang biasa digunakan adalah glycine, asparagin, glutanin, alanin, dan threonine (Coleman, Evans, dan Kearns, 2003).

Gula digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur, karena umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan mempunyai laju fotosintesis yang rendah. Oleh sebab itu tanaman kultur jaringan membutuhkan karbohidart yang cukup sebagai sumber energi. Menurut Gautheret dalam Gunawan (1987), sukrosa adalah sumber karbohidrat penghasil energi yang terbaik melebihi glukosa, maltosa, rafinosa. Namun jika tidak terdapat sukrosa, sumber karbohidrat tersebut dapat digantikan dengan gula pasir. Gula pasir cukup memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan kultur. Selain sebagai sumber energi, gula juga berfungsi sebagai tekanan osmotik media.

Keasaman (pH) adalah nilai yang menyatakan derajat keasaman atau kebasaan larutan dalam air. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0 – 6,0 (Daisy, 1994). Menurut Gamborg dan Shyluk (1981) dalam Gunawan (1987), sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5,5–5,8. Pengaturan pH, biasa dilakukan dengan dengan menggunakan NaOH (atau kadang-kadang KOH) atau HCL pada waktu semua komponen sudah dicampurkan.

Berikut ini adalah perbandingan komposisi beberapa media kultur jaringan, yaitu diantaranya:

Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur, merupakan perbaikan komposisi media Skoog, Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS, dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara lain media : 1. Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch (1967)serta Nitsch & Nitsch (1969) dalam penelitian kultur anther (Gunawan, 1987).

  • Media Schenk & Hildebrant (media SH)

Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman monokotil dan dikotil. Konsentrasi ion-ion dalam komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman legume.

  • Media WPM (Woody Plant Medium)

Dikembangkan oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-pohon.

  • Media Nitsch & Nitsch

Menggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+ sangat menunjang pertumbuhan kalus tembakau (Gunawan, 1987).

  • Media Knop

Dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus, biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam kultur akar dengan penambahan suplemen seperti glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-HCl dan IAA.

  • Media White

Dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S, pada media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang dikembangkan kemudian. Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum digunakan sekarang.

  • Media Knudson dan media Vacin and Went

Media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya mengandung N dari Nitrat. Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan 7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm.

Dalam metode kultur in vitro dikenal beberapa macam jenis media dasar diantaranya media Murashige dan Skoog (MS) dan Gamborg (B5). Media B5 dikembangkan oleh Gamborg et al. pada tahun 1968 untuk kultur suspensi kedelai. Pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman. Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain.

Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Tetapi peneliti lain melaporkan bahwa konsentrasi NH4+ yang tinggi sampai 20 mM berpengaruh baik dalam kultur jaringan seperti pada kultur kalus tembakau Konsentrasi fosfat yang diberikan pada media tersebut adalah 1mM , Ca+ antara 1-4 mM, dan Mg antara 0,5-4 mM lebih mengutamakan kandungan ammonium dibandingkan media MS.

Meskipun media B5 pada awalnya digunakan untuk menginduksi kalus atau diutamakan sebagai kultur suspensi, tetapi dapat digunakan pula sebagai media dasar bagi perbanyakan tanaman pada umumnya. Kadar hara anorganik yang dikandung media dasar Gamborg (B5) umumnya lebih rendah dari pada media dasar MS. Hal tersebut sering kali lebih baik bagi sel spesies tertentu. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman

 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sangat penting dalam pembutan media kultur jaringan. Zat pengatur tumbuh adalah suatu persenyawaan organik yang dalam jumlah sedikit (1 mM) dapat merangsang, menghambat atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman.Dalam kultur jaringan ZPT penting: sitokinin (Kinetin, BA, Zeatin, 2iP, Thidiazuron), auksin (IAA, NAA, IBA, 2.4-D, 2.4.5-T, Dicamba, Picloram). Kedua ZPT ini mempunyai fungsi yang berbeda. Sitokinin mempengaruhi pembelahan sel serta pembentukan organ seperti pucuk dan pembentukan embrio somatik. Auksin dipakai untuk menginduksi pembentukkan sel dan akar. Kombinasi antara auksin dan sitokinin berfungsi untuk menginduksi pertumbuhan kalus. Selain auksin dan sitokinin digunakan juga giberelin(menginduksi pemanjangan tunas dan perkecambahan embrio, dan menghambat pengakaran) dan retardan (untuk menghambat pertumbuhan tunas) seperti pachlobutrazol (Coleman, Evans, dan Kearns, 2003).

            Menurut Saad dan Elshahed (2012), dalam kultur jaringan auksin biasanya digunakan untuk merangsang produksi kallus dan pertumbuhan sel, untuk inisiasi tunas dan akar, untuk menginduksi perkembangan embrio somatic, merangsang pertumbuhan ujung akar dan pembentukan akar dari kultur batang. Sementara sitokinin berguna untuk merangsang pembelahan sel, menginduksi pembentukan tunas, proliferasitunas aksiler dan untuk menghambat pembentukan akar. Sitokinin adalah senyawa yang relatif stabil dalam media kultur dan dapat disimpan pada suhu 20oC. Sitokinin sering dilaporkan sulit larutdan kadang-kadang perlu penambahan beberapa tetes HCl1N atau NaOH1N untuk memfasilitasi kelarutannya. Sitokinin dapat dilarutkan dalam sejumlah kecil dimetilsulfoksida (DMSO) tanpa merusak jaringan tanaman. ZPT lainnya yaitu giberelin yang terdiri lebih dari dua puluh senyawa, namun giberelin yang paling sering digunakan adalah GA3. Senyawa inidapat meningkatkan pertumbuhan kalus dan membantu pemanjangan planlet kerdil. Zat pengatur pertumbuhan lainnya kadang-kadang ditambahkan kedalam media kultur jaringan adalah asam absisat, yaitu suatu senyawa yang biasanya dilengkapi untuk menghambat atau menstimulasi pertumbuhan kalus, tergantung pada spesies. Senyawa ini dapat meningkat kanproliferasi tunas dan menghambat tahap akhir dari perkembangan embrio.

Senyawa organik sering ditambahkan ke dalam media sebagai sumber pembentuk asam amino dan vitamin. Senyawa organik yang sering ditambahkan adalah air kelapa, ekstrak ragi, ekstrak buah, dan casein hydrolisat. Sebagai sumber energi ditambahkan dari senyawa-senyawa yang merupakan sumber karbohidrat, seperti sukrosa (paling baik pada tanaman umumnya), glukosa, fruktosa, dam maltosa. Penambahan arang aktif berfungsi untuk mengarbsorbsi senyawa-senyawa fenolik dan untuk merangsang pertumbuhan akar (Coleman, Evans, dan Kearns, 2003).

 Subkultur

Subkultur merupakan bagian yang terpenting dalam kultur jaringan. Wetherell (1976), menyatakan bahwa subkultur dalam teknik kultur jaringan dilakukan guna perbanyakan planlet sebelum planlet tersebut diaklimatisasi. Frekuensi pengulangan dari subkultur brvariasi untuk setiap spesies dan kondisi pertumbuhan.Kemudian Suryowinoto (1991), juga menambahkan bahwa beberapa jenis kultur dapat disubkultur setiap 4-8 minggu dengan 3-6 kali subkultur. Subkultur dapat terus dilakukan hingga tujuan dari subkultur telah terpenuhi, namun subkultur dapat dihentikan apabila terjadi perubahan-perubahan morfologis yang tidak dikehendaki atau setelah daya tumbuh kultur menurun.

Aklimatisasi

Aklimatisasi merupakan kegiatan akhir teknik kultur jaringan. Aklimatisasi adalah proses pemindahan planlet dari lingkungan yang terkontrol (aseptik dan heterotrof) ke kondisi lingkungan yang tidak terkendali, baik suhu, cahaya, dan kelembaban, serta tanaman harus dapat hidup dalam kondisiautotrof, sehingga jika tanaman (planlet) tidak diaklimatisasi terlebih dahulu tanaman (planlet)tersebut tidak akan dapat bertahan dikondisi lapang. Aklimatisasi dilakukan untuk mengadaptasikantanaman hasil kultur jaringan terhadap lingkungan baru sebelum ditanam dan dijadikan tanamaninduk untuk produksi dan untuk mengetahui kemampuan adaptasi tanaman dalam lingkungantumbuh yang kurang aseptik. Aklimatisasi adalah suatu proses dimana suatu tanaman beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Torres, 1986).

Pada tahap ini (aklimatisasi) diperlukan ketelitian karena tahap ini merupakan tahap kritisdan seringkali menyebabkan kematian planlet. Kondisi mikro planlet ketika dalam botol kultur adalah dengan kelembaban 90-100%. Beberapa sumber menuliskan penjelasan yang berkaitandengan hal tersebut.Bibit yang ditumbuhkan secara in vitro mempunyai kutikula yang tipis dan jaringan pembuluh yang belum sempurna (Wetherell, 1982). Kutikula yang tipis menyebabkan tanaman lebih cepat kehilangan air dibanding dengan tanaman yang normal dan ini menyebabkan tanaman tersebut daya tahan yang sangat lemah. Walaupun potensialnya lebih tinggi, tanaman akan tetap menjadi layu karena kehilangan air yang tidak terbatas. Kondisi tersebut menyebabkan tanaman tidak dapat langsung ditanam dirumah kaca (Wetherelll, 1982).

Selain itu, tanaman juga memerlukan akar untuk menyerap hara agar dapat tumbuh dengan baik, sehingga dalam tahap aklimatisasi ini diperlukan suatu media yang dapat mempermudah pertumbuhan akar dan dapat menyediakan hara yang cukup bagi tanaman (planlet) yangdiaklimatisasi tersebut. Media yang ramah akan memudahkan pertumbuhan akar dan melancarkanaliran air, mudah mengikat air dan hara, tidak mengandung toksik atau racun, kandungan unsur haranya tinggi, tahan lapuk dalam waktu yang cukup lama. Media aklimatisasi misalnya untuk bibit kultur jaringankrisan dan kentang di Indonesia saat ini adalah media arang sekam atau media campuran arangsekam dan pupuk kandang.Arang sekam merupakan salah satu media hidroponik yang baik karena memiliki beberapakeunggulan sebagai berikut; mampu menahan air dalam waktu yang relatif lama, termasuk mediaorganik sehingga ramah lingkungan, lebih steril dari bakteri dan jamur karena telah dibakar terlebihdahulu, dan hemat karena bisa digunakan hingga beberapa kali (Yuniastuti, 2008).

Leave a comment